Jumat, 05 April 2013

Pengetahuan Menurut Karl Popper


PENDAHULUAN

Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat. Sebaliknya, perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat.
Kelahiran filsafat menunjukkan pola pemikiran dari pandangan mitologi akhirnya lenyap dan pada gilirannya rasiolah yang dominan. Dengan filsafat, pola pikir yang selalu tergantung pada dewa diubah menjadi pola pikir yang tergantung pada rasio.
Salah satu filsuf yang akan dibahas pengetahuannya lebih lanjut pada makalah ini yaitu Karl Popper. Ia banyak menulis tentang filsafat politik maupun filsafat ilmu. Teorinya tentang falsifikasi, yang walaupun ditujukan dalam bidang analisis filsafat ilmu, memiliki implikasi yang sangat luas.
Untuk selanjutnya, dalam makalah ini akan dibahas mulai dari pendekatan tentang Karl Popper, karya tulis Karl Popper dan pengetahuan menurut Karl Popper.








PENGETAHUAN MENURUT KARL POPPER

A.    Pendekatan Umum Tentang Karl Popper
Karl Popper,dikenal karena teorinya tentang falsifiabilitas. Pandangannya mencerminkan metodologi yang eksplisit.[1]Karl Popper (1902-1994) adalah seorang filsuf dari Wina yang sempat mengajar di New Zealand, dan kemudian di London pada 1945, dimana ia menjadi profesor dalam bidang logika dan metode santifik di London School of Economics. Ia banyak menulis tentang filsafat politik maupun filsafat ilmu. Teorinya tentang falsifikasi, yang walaupun ditujukan dalam bidang analisis filsafat ilmu, memiliki implikasi yang sangat luas. Pada dekade 1920-an para pemikir positivisme logis, berpendapat bahwa suatu pernyataan hanya bermakna, jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi dengan data inderawi. Dengan kata lain, jika suatu pernyataan tidak dapat dibuktikan secara inderawi, pernyataan itu tidaklah bermakna. Akan tetapi, mereka juga memberikan pengecualian bagi pernyataan matematis ataupun pernyataan logika, dimana makna dari suatu pernyataan sudah terkandung di dalam definisi dari pernyataan yang digunakan.[2]
Karl Popper-lah orang yang pertama kali meruntuhkan dominasi positivisme logis dengan teori falsifikasinya itu, sekaligus mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu pengetahuan. Prinsip falsibilitas berarti bahwa ciri utama pengetahuan ilmiah adalah dapat dibuktikan salah. Jadi, hipotesis dan teori, hanya diterima sebagai bentuk kebenaran sementara, sejauh belum ditemukan kesalahannya.[3]
Karl Raimund Popper melihat kelemahan dalam prinsip verifikasi berupa sifat pembenaran (justification) terhadap teori yang telah ada. Ia mengajukan prinsip falsifikasi yang dapat diurai sebagai berikut.
Pertama, Popper menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan dapat dibuktikan kebenarannya melalui prinsip verifikasi, sebagaimana yang dianut oleh kaum positivistik. Teori- teori ilmiah selalu bersifat hipotesis (dugaan sementara), tak ada kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori yang lebih tepat.
Kedua, cara kerja metode induksi yang secara sistematis dimulai dari pengamatan (observasi) secara teliti gejala yang sedang diselidiki. Pengamatan yang berulang- ulang itu akan memperlihatkan adanya ciri- ciri umum yang dirumuskan menjadi hipotesa. Selanjutnya hipotesa itu dikukuhkan dengan cara menemukan bukti- bukti empiris yang dapat mendukungnya. Hipotesa yang berhasil dibenarkan (justifikasi) akan berubah menjadi hukum. Popper menolak cara kerja di atas, terutama pada asas verifiabilitas, bahwa sebuah pernyataan itu dapat dibenarkan berdasarkan bukti- bukti pengamatan empiris.
Ketiga, Popper menawarkan pemecahan baru dengan mengajukan prinsip falsifiabilitas, yaitu bahwa sebuah pernyataan dapat dibuktikan kesalahannya. Maksudnya, sebuah hipotesa, hukum, ataukah teori kebenarannya hanya bersifat sementara, sejauh belum ditemukan kesalahan- kesalahan yang ada di dalamnya. Bagi Popper, ilmu pengetahuan dapat berkembang maju manakala suatu hipotesa telah dibuktikan salah, sehingga dapat digantikan dengan hipotesa baru. Namun ada kemungkinan lain, yaitu hanya salah satu unsur hipotesa yang dibuktikan salah satu untuk digantikan dengan unsur baru yang lain, sehingga hipotesa telah disempurnakan. Menurut Popper, apabila suatu hipotesa dapat bertahan melawan segala usaha penyangkalan, maka hipotesa tersebut semakin diperkokoh (corroboration).[4]

B.     Antologi Karl Popper
Salah satu pokok filsafat Popper adalah bahwa yang kita sebut pengetahuan ilmiah sebenarnya hanyalah pendapat atau kesimpulan yang didasarkan atas informasi yang tidak lengkap, dan pada prinsipnya selalu dapat digantikan dengan sesuatu yang mungkin lebih mendekati kebenaran. Menurut Popper, gagasan itu dikemukakan pertama kali oleh Xenophanes.[5]
Pada tingkat ilmiah, penggunaan sementara atas sebuah perkiraan atau teori baru mungkin menyelesaikan satu atau dua masalah. Namun, ia pasti juga membuka berbagai permasalahan baru, sebab teori baru dan revolusioner tetap berfungsi seperti sebuah organ pengindra yang baru dan kuat. Jika kemajuan yang diperoleh cukup signifikan, maka masalah- masalah baru akan berbeda dengan masalah- masalah lama. Masalah baru akan berada pada tingkat kedalaman yang sangat berbeda. Ini, menurut Karl Popper, merupakan cara yang dengannya ilmu memperoleh kemajuan. Dan kemajuan kita bisa dinilai paling baik dengan membandingkan masalah- masalah lama dengan yang baru. Jika kemajuan yang diperoleh cukup besar, maka masalah- masalah baru akan memiliki karakter yang belum pernah dibayangkan. Akan ada masalah- masalah yang lebih dalam dan akan semakin banyak.
Tradisi kritis didasarkan pada penggunaan metode dalam mengkritik sebuah kisah atau penjelasan yang diterima, dan melangkah menuju kisah baru, lebih sempurna, dan imajinatif, yang selanjutnya juga akan dikritik. Metode ini, menurut Karl Popper adalah metode ilmu.
Jika metode diskusi kritis rasional terbentuk dengan sendirinya, ini akan menyebabkan peggunaan kekerasan menjadi usang. Karena penalaran kritis adalah satu- satunya alternatif bagi kekerasan yang bisa ditemukan sejauh ini.
Dalam keduanya (sejarah dan ilmu alam), berangkat dari mitos- mitos, dari prasangka- prasangka tradisional, yang penuh dengan kesalahan dan dari sini berlanjut menuju kritisisme, melalui eliminasi kritis, atas kesalahan. Dalam keduanya, peran bukti, terutama adalah untuk membetulkan kesalahan- kesalahan, prasangka- prasangka, dan teori- teori sementara itu, yakni untuk memainkan peran dalam diskusi kritis, dalam eliminasi kesalahan. Dengan membetulan kesalahan- kesalahan yang ada, kemudian memunculkan masalah- masalah baru. Dan untuk memecahkan masalah- masalah itu, diciptakan perkiraan, yakni teori- teori sementara yang dihadapkan pada diskusi kritis, diarahkan menuju eliminasi kesalahan.
Selanjutnya bisa dikatakan bahwa rasionalisme adalah sikap yang bersedia mendengarkan argumen- argumen yang berlawanan dan belajar dari pengalaman. Rasionalisme pada dasarnya adalah sikap seorang rasionalis, dengan keyakinan bahwa dalam usaha mencari kebenaran, perlu ada kerja sama, dan bahwa dengan bantuan argumen, pada saatnya nanti bisa dicapai sesuatu seperti objektivitas.[6]

C.    Pengetahuan Menurut Karl Popper
Popper mengemukakan bahwa sistem ilmu pengetahuan manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga dunia (world), yaitu dunia 1, dunia 2, dan dunia 3. Popper menyatakan bahwa dunia 1 merupakan kenyataan fisis dunia, sedang dunia 2 adalah kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia, dan dunia 3 yaitu segala hipotesis, hukum, dan teori ciptaan manusia dan hasil kerja sama antara dunia 1 dan dunia 2, serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisik, agama, dan sebagainya. Menurut Popper dunia 3 itu hanya ada selama dihayati, yaitu dalam karya dan penelitian ilmiah, dalam studi yang sedang berlangsung, membaca buku, dalam ilham yang sedang mengalir dalam diri para seniman, dan penggemar seni yang mengandalkan adanya suatu kerangka. Sesudah penghayatan itu, semuanya langsung ‘mengendap’ dalam bentuk fisik alat- alat ilmiah, buku-buku, karya seni, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan bagian dari dunia 1. Dalam pergaulan manusia dengan sisa dunia 3 dalam dunia 1 itu, maka dunia 2 lah yang membuat manusia bisa membangkitkan kembali dan mengembangkan dunia 3 tersebut.
Menurut Popper dunia 3 itu mempunyai kedudukannya sendiri. Dunia 3 berdaulat, artinya tidak semata-mata begitu saja terikat pada dunia 1, tetapi sekaligus tidak terikat juga pada subjek tertentu. Maksudnya, dunia 3 tidak terikat pada dunia 2, yaitu pada orang tertentu, pada suatu lingkungan masyarakat maupun pada periode sejarah tertentu. Dunia 3 inilah yang merupakan dunia ilmiah yang harus mendapat perhatian para ilmuwan dan filsuf.
Kalau diskematisasikan, maka hubungan antara ketiga dunia tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:[7]


Kenyataan PsikisDalamDiri Manusia
Kenyataan Fisis Dunia
Dunia 1                                                                     Dunia 2


Penelitian Ilmiah
Studi Ilmiah
Karya Ilmiah
Hipotesa Hukum,  Teori (Ciptaan Manusia)
Dunia 3





                                        KESIMPULAN                                       
Maksudnya:
1.      Empiris (fakta): Kenyataan fisik dunia.
2.      Psicies (berfikir): Kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia.
3.      Hipotesa: Kesimpulan/ jawaban sementara.


Jadi, dari fakta lalu berfikir lalu memunculkan jawaban sementara.
Contoh:
HP hilang, lalu kita berfikir mungkin tertinggal, atau mungkin jatuh. Lalu setelah dari fikiran itu muncullah kesimpulan atau jawaban sementara.
D.   Perbedaan Metode Verifikasi Dengan Metode Falsifikasi
Verifikasi dibuktikan kebenarannya melalui panca indera. Contoh: jika teori empirismenya mengatakan kalau besi itu dipanaskan pasti akan meleleh. Lalu teori ini memverifikasi dengan meletakkan besi pada tangannya untuk menguji apakah benar panas atau tidak.
Falsifikasi berawal dari esalahan atau mencari kesalahannya dulu. Contoh: Jika ada pernyataan “semua angsa itu berbulu putih”, melalui prinsip falsifiabilitas itu cukup ditemukan seekor angsa yang berbulu selain putih (entah hitam, kuning, hujau, dan lain- lain), maka runtuhlah pernyataan semula.
Popper tidak puas atas tuntutan empirisme yang hanya melalui verifikasi tanpa falsifikasi. Sebab hukum itu adalah hipotesis atau merupakan dugaan saja yang perlu pengujian dengan metode trial and error. Semakin sering sebuah hipotesis diuji dan benar, semakin besar pula kebenarannya. Dengan falsifikasi seorang teorisi selalu akan memilih teori yang akan ditolak, dengan pengertian bahwa ia akan menerima unsur-unsur teori lama itu yang ternyata dapat bertahan melalui pengujian dan sekaligus menjelaskan dimana teori lama itu gagal dan sekaligus dimana teori itu berhasil. Teori baru itu akan tetap dipegang selama ternyata dapat bertahan terhadap pengujian dan akan digugurkan apabila tidak cocok.







KESIMPULAN

Salah satu pokok filsafat Popper adalah bahwa yang kita sebut pengetahuan ilmiah sebenarnya hanyalah pendapat atau kesimpulan yang didasarkan atas informasi yang tidak lengkap, dan pada prinsipnya selalu dapat digantikan dengan sesuatu yang mungkin lebih mendekati kebenaran.
Karl Popper orang yang pertama kali meruntuhkan dominasi positivisme logis dengan teori falsifikasinya, sekaligus mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu pengetahuan. Prinsip falsibilitas berarti bahwa ciri utama pengetahuan ilmiah adalah dapat dibuktikan salah. Jadi, hipotesis dan teori, hanya diterima sebagai bentuk kebenaran sementara, sejauh belum ditemukan kesalahannya.
Menurut Popper, apabila suatu hipotesa dapat bertahan melawan segala usaha penyangkalan, maka hipotesa tersebut semakin diperkokoh (corroboration).
















DAFTAR PUSTAKA

Higgin,Graham.Antologi Filsafat. Bandung: PT Bentang Pustaka, 2004.
Magee, Bryan.The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Mustansyir,Rizal.Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Ravertz, Jerome R. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Santoso, Listiyono.Epistemologi Kiri. Yogyakarta: A. Ruzz Media, 2010.
Surajiyo.Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010.
Wattimena, Reza A. A.Filsafat dan Sains. Jakarta: Grasindo.


[1]Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 118.
[2]Reza A. A Wattimena, Filsafat dan Sains (Jakarta: Grasindo), 182.
[3]Listiyono Santoso, Epistemologi Kiri (Yogyakarta: A. Ruzz Media, 2010), 153.
[4]Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 117-118.
[5]Bryan Magee, The Story of Philosophy (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 16.
[6]Graham Higgin, Antologi Filsafat (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2004), 198-199.
[7]Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), 69-70.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar