PENDAHULUAN
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling
terkait, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak
lepas dari peranan filsafat. Sebaliknya, perkembangan ilmu memperkuat
keberadaan filsafat.
Kelahiran filsafat menunjukkan pola
pemikiran dari pandangan mitologi akhirnya lenyap dan pada gilirannya rasiolah
yang dominan. Dengan filsafat, pola pikir yang selalu tergantung pada dewa
diubah menjadi pola pikir yang tergantung pada rasio.
Salah satu filsuf yang akan dibahas
pengetahuannya lebih lanjut pada makalah ini yaitu Karl Popper. Ia
banyak menulis tentang filsafat politik maupun filsafat ilmu. Teorinya tentang
falsifikasi, yang walaupun ditujukan dalam bidang analisis filsafat ilmu,
memiliki implikasi yang sangat luas.
Untuk
selanjutnya, dalam makalah ini akan dibahas mulai dari pendekatan tentang Karl
Popper, karya tulis Karl Popper dan pengetahuan menurut Karl Popper.
PENGETAHUAN MENURUT KARL POPPER
A.
Pendekatan
Umum Tentang Karl Popper
Karl
Popper,dikenal karena teorinya tentang falsifiabilitas. Pandangannya mencerminkan
metodologi yang eksplisit.[1]Karl
Popper (1902-1994) adalah seorang filsuf dari Wina yang sempat mengajar di New
Zealand, dan kemudian di London pada 1945, dimana ia menjadi profesor dalam
bidang logika dan metode santifik di London School of Economics. Ia banyak
menulis tentang filsafat politik maupun filsafat ilmu. Teorinya tentang
falsifikasi, yang walaupun ditujukan dalam bidang analisis filsafat ilmu,
memiliki implikasi yang sangat luas. Pada dekade 1920-an para pemikir
positivisme logis, berpendapat bahwa suatu pernyataan hanya bermakna, jika
pernyataan tersebut dapat diverifikasi dengan data inderawi. Dengan kata lain,
jika suatu pernyataan tidak dapat dibuktikan secara inderawi, pernyataan itu
tidaklah bermakna. Akan tetapi, mereka juga memberikan pengecualian bagi
pernyataan matematis ataupun pernyataan logika, dimana makna dari suatu
pernyataan sudah terkandung di dalam definisi dari pernyataan yang digunakan.[2]
Karl
Popper-lah orang yang pertama kali meruntuhkan dominasi positivisme logis
dengan teori falsifikasinya itu, sekaligus mengintroduksikan suatu zaman
filsafat ilmu pengetahuan. Prinsip falsibilitas berarti bahwa ciri utama pengetahuan
ilmiah adalah dapat dibuktikan salah. Jadi, hipotesis dan teori, hanya diterima
sebagai bentuk kebenaran sementara, sejauh belum ditemukan kesalahannya.[3]
Karl
Raimund Popper melihat kelemahan dalam prinsip verifikasi berupa sifat
pembenaran (justification) terhadap
teori yang telah ada. Ia mengajukan prinsip falsifikasi yang dapat diurai
sebagai berikut.
Pertama,
Popper menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan dapat dibuktikan
kebenarannya melalui prinsip verifikasi, sebagaimana yang dianut oleh kaum
positivistik. Teori- teori ilmiah selalu bersifat hipotesis (dugaan sementara),
tak ada kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh
teori yang lebih tepat.
Kedua,
cara kerja metode induksi yang secara sistematis dimulai dari pengamatan (observasi)
secara teliti gejala yang sedang diselidiki. Pengamatan yang berulang- ulang
itu akan memperlihatkan adanya ciri- ciri umum yang dirumuskan menjadi
hipotesa. Selanjutnya hipotesa itu dikukuhkan dengan cara menemukan bukti-
bukti empiris yang dapat mendukungnya. Hipotesa yang berhasil dibenarkan
(justifikasi) akan berubah menjadi hukum. Popper menolak cara kerja di atas,
terutama pada asas verifiabilitas, bahwa sebuah pernyataan itu dapat dibenarkan
berdasarkan bukti- bukti pengamatan empiris.
Ketiga,
Popper menawarkan pemecahan baru dengan mengajukan prinsip falsifiabilitas,
yaitu bahwa sebuah pernyataan dapat dibuktikan kesalahannya. Maksudnya, sebuah
hipotesa, hukum, ataukah teori kebenarannya hanya bersifat sementara, sejauh
belum ditemukan kesalahan- kesalahan yang ada di dalamnya. Bagi Popper, ilmu
pengetahuan dapat berkembang maju manakala suatu hipotesa telah dibuktikan
salah, sehingga dapat digantikan dengan hipotesa baru. Namun ada kemungkinan
lain, yaitu hanya salah satu unsur hipotesa yang dibuktikan salah satu untuk
digantikan dengan unsur baru yang lain, sehingga hipotesa telah disempurnakan.
Menurut Popper, apabila suatu hipotesa dapat bertahan melawan segala usaha
penyangkalan, maka hipotesa tersebut semakin diperkokoh (corroboration).[4]
B.
Antologi
Karl Popper
Salah
satu pokok filsafat Popper adalah bahwa yang kita sebut pengetahuan ilmiah
sebenarnya hanyalah pendapat atau kesimpulan yang didasarkan atas informasi
yang tidak lengkap, dan pada prinsipnya selalu dapat digantikan dengan sesuatu
yang mungkin lebih mendekati kebenaran. Menurut Popper, gagasan itu dikemukakan
pertama kali oleh Xenophanes.[5]
Pada
tingkat ilmiah, penggunaan sementara atas sebuah perkiraan atau teori baru
mungkin menyelesaikan satu atau dua masalah. Namun, ia pasti juga membuka
berbagai permasalahan baru, sebab
teori baru dan revolusioner tetap berfungsi seperti sebuah organ pengindra yang
baru dan kuat. Jika kemajuan yang diperoleh cukup signifikan, maka masalah-
masalah baru akan berbeda dengan masalah- masalah lama. Masalah baru akan
berada pada tingkat kedalaman yang sangat berbeda. Ini, menurut Karl Popper,
merupakan cara yang dengannya ilmu memperoleh kemajuan. Dan kemajuan kita bisa
dinilai paling baik dengan membandingkan masalah- masalah lama dengan yang
baru. Jika kemajuan yang diperoleh cukup besar, maka masalah- masalah baru akan
memiliki karakter yang belum pernah dibayangkan. Akan ada masalah- masalah yang
lebih dalam dan akan semakin banyak.
Tradisi
kritis didasarkan pada penggunaan metode dalam mengkritik sebuah kisah atau
penjelasan yang diterima, dan melangkah menuju kisah baru, lebih sempurna, dan
imajinatif, yang selanjutnya juga akan dikritik. Metode ini, menurut Karl
Popper adalah metode ilmu.
Jika
metode diskusi kritis rasional terbentuk dengan sendirinya, ini akan
menyebabkan peggunaan kekerasan menjadi usang. Karena penalaran kritis adalah
satu- satunya alternatif bagi kekerasan yang bisa ditemukan sejauh ini.
Dalam
keduanya (sejarah dan ilmu alam), berangkat dari mitos- mitos, dari prasangka-
prasangka tradisional, yang penuh dengan kesalahan dan dari sini berlanjut
menuju kritisisme, melalui eliminasi kritis, atas kesalahan. Dalam keduanya,
peran bukti, terutama adalah untuk membetulkan kesalahan- kesalahan, prasangka-
prasangka, dan teori- teori sementara itu, yakni untuk memainkan peran dalam
diskusi kritis, dalam eliminasi kesalahan. Dengan membetulan kesalahan-
kesalahan yang ada, kemudian memunculkan masalah- masalah baru. Dan untuk
memecahkan masalah- masalah itu, diciptakan perkiraan, yakni teori- teori
sementara yang dihadapkan pada diskusi kritis, diarahkan menuju eliminasi
kesalahan.
Selanjutnya
bisa dikatakan bahwa rasionalisme adalah sikap yang bersedia mendengarkan
argumen- argumen yang berlawanan dan belajar dari pengalaman. Rasionalisme pada
dasarnya adalah sikap seorang rasionalis, dengan keyakinan bahwa dalam usaha
mencari kebenaran, perlu ada kerja sama, dan bahwa dengan bantuan argumen, pada
saatnya nanti bisa dicapai sesuatu seperti objektivitas.[6]
C.
Pengetahuan
Menurut Karl Popper
Popper
mengemukakan bahwa sistem ilmu pengetahuan manusia dapat dikelompokkan ke dalam
tiga dunia (world), yaitu dunia 1,
dunia 2, dan dunia 3. Popper menyatakan bahwa dunia 1 merupakan kenyataan fisis
dunia, sedang dunia 2 adalah kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia,
dan dunia 3 yaitu segala hipotesis, hukum, dan teori ciptaan manusia dan hasil
kerja sama antara dunia 1 dan dunia 2, serta seluruh bidang kebudayaan, seni,
metafisik, agama, dan sebagainya. Menurut Popper dunia 3 itu hanya ada selama
dihayati, yaitu dalam karya dan penelitian ilmiah, dalam studi yang sedang
berlangsung, membaca buku, dalam ilham yang sedang mengalir dalam diri para
seniman, dan penggemar seni yang mengandalkan adanya suatu kerangka. Sesudah
penghayatan itu, semuanya langsung ‘mengendap’ dalam bentuk fisik alat- alat
ilmiah, buku-buku, karya seni, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan bagian
dari dunia 1. Dalam pergaulan manusia dengan sisa dunia 3 dalam dunia 1 itu,
maka dunia 2 lah yang membuat manusia bisa membangkitkan kembali dan
mengembangkan dunia 3 tersebut.
Menurut
Popper dunia 3 itu mempunyai kedudukannya sendiri. Dunia 3 berdaulat, artinya
tidak semata-mata begitu saja terikat pada dunia 1, tetapi sekaligus tidak
terikat juga pada subjek tertentu. Maksudnya, dunia 3 tidak terikat pada dunia
2, yaitu pada orang tertentu, pada suatu lingkungan masyarakat maupun pada
periode sejarah tertentu. Dunia 3 inilah yang merupakan dunia ilmiah yang harus
mendapat perhatian para ilmuwan dan filsuf.
Kalau
diskematisasikan, maka hubungan antara ketiga dunia tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:[7]
Kenyataan PsikisDalamDiri
Manusia
|
Kenyataan Fisis Dunia
|
Penelitian Ilmiah
|
Studi Ilmiah
|
Karya Ilmiah
|
Hipotesa Hukum, Teori (Ciptaan Manusia)
|
KESIMPULAN
Maksudnya:
1. Empiris
(fakta): Kenyataan fisik dunia.
2. Psicies
(berfikir): Kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia.
3. Hipotesa:
Kesimpulan/ jawaban sementara.
Jadi,
dari fakta lalu berfikir lalu memunculkan jawaban sementara.
Contoh:
HP
hilang, lalu kita berfikir mungkin tertinggal, atau mungkin jatuh. Lalu setelah
dari fikiran itu muncullah kesimpulan atau jawaban sementara.
D.
Perbedaan Metode Verifikasi Dengan Metode
Falsifikasi
Verifikasi
dibuktikan kebenarannya melalui panca indera. Contoh: jika teori empirismenya
mengatakan kalau besi itu dipanaskan pasti akan meleleh. Lalu teori ini
memverifikasi dengan meletakkan besi pada tangannya untuk menguji apakah benar
panas atau tidak.
Falsifikasi
berawal dari esalahan atau mencari kesalahannya dulu. Contoh: Jika ada
pernyataan “semua angsa itu berbulu putih”, melalui prinsip falsifiabilitas itu
cukup ditemukan seekor angsa yang berbulu selain putih (entah hitam, kuning,
hujau, dan lain- lain), maka runtuhlah pernyataan semula.
Popper
tidak puas atas tuntutan empirisme yang hanya melalui verifikasi tanpa
falsifikasi. Sebab hukum itu adalah hipotesis atau merupakan dugaan saja yang
perlu pengujian dengan metode trial and error. Semakin sering sebuah hipotesis
diuji dan benar, semakin besar pula kebenarannya. Dengan falsifikasi seorang
teorisi selalu akan memilih teori yang akan ditolak, dengan pengertian bahwa ia
akan menerima unsur-unsur teori lama itu yang ternyata dapat bertahan melalui
pengujian dan sekaligus menjelaskan dimana teori lama itu gagal dan sekaligus
dimana teori itu berhasil. Teori baru itu akan tetap dipegang selama ternyata
dapat bertahan terhadap pengujian dan akan digugurkan apabila tidak cocok.
KESIMPULAN
Salah
satu pokok filsafat Popper adalah bahwa yang kita sebut pengetahuan ilmiah
sebenarnya hanyalah pendapat atau kesimpulan yang didasarkan atas informasi yang
tidak lengkap, dan pada prinsipnya selalu dapat digantikan dengan sesuatu yang
mungkin lebih mendekati kebenaran.
Karl
Popper orang yang pertama kali meruntuhkan dominasi positivisme logis dengan
teori falsifikasinya, sekaligus mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu
pengetahuan. Prinsip falsibilitas berarti bahwa ciri utama pengetahuan ilmiah
adalah dapat dibuktikan salah. Jadi, hipotesis dan teori, hanya diterima
sebagai bentuk kebenaran sementara, sejauh belum ditemukan kesalahannya.
Menurut
Popper, apabila suatu hipotesa dapat bertahan melawan segala usaha
penyangkalan, maka hipotesa tersebut semakin diperkokoh (corroboration).
DAFTAR PUSTAKA
Higgin,Graham.Antologi Filsafat. Bandung: PT Bentang
Pustaka, 2004.
Magee,
Bryan.The Story of Philosophy.
Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Mustansyir,Rizal.Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010.
Ravertz,
Jerome R. Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Santoso,
Listiyono.Epistemologi Kiri. Yogyakarta:
A. Ruzz Media, 2010.
Surajiyo.Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010.
Wattimena,
Reza A. A.Filsafat dan Sains.
Jakarta: Grasindo.
[1]Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), 118.
[2]Reza A. A Wattimena, Filsafat dan Sains (Jakarta: Grasindo), 182.
[3]Listiyono Santoso, Epistemologi Kiri (Yogyakarta: A. Ruzz
Media, 2010), 153.
[4]Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), 117-118.
[5]Bryan Magee, The Story of Philosophy (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 16.
[6]Graham Higgin, Antologi Filsafat (Bandung: PT Bentang
Pustaka, 2004), 198-199.
[7]Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2010), 69-70.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar