KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr,
Wb.
Puji syukur kehadirat
Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Taufik serta HidayahNya kepada kita
semua, khususnya pada kami, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
sebaik-baiknya.
Shalawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan
kepada pengikutnya.
Kami sadari bahwa dalam
makalah ini masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan dan kekurangan. Oleh
karena itu, kami sangat berharap saran
dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.
Wassalamu’alaikum Wr,
Wb.
Ponorogo, Juni 2012
Penulis
PENDAHULUAN
Sebagai pribadi muslim,
hendaklah bertaqwa kepada Allah SWT, serta beriman kepada Rosul Allah, yaitu
Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, tidak hanya sekedar percaya dan mengakui
keimanan saja. Perlu adanya terapan iman, bahwasannya umat muslim harus
mengikuti sunnah-sunnah Rosul.
Dalam makalah ini, akan
dibahas salah satu sunnah Rosul mengenai munakahat. Dalam hadist ini,
menjelaskan apa-apa yang seharusnya dilakukan antara sesama manusia umumnya dan
umat Islam kususnya dalam kehidupan sehari-hari di bidang Pernikahan. Terdapat
perbedaan antara pernikahan seorang janda dan gadis. Semua itu akan dijelaskan
lebih lanjut pada bab berikutnya.
MUNAKAHAT
A.
Subulus
Salam
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ ماَ
لِكٍ رَضِيَ اللهُ تَعاَ لىٰ عَنْهُ اَنَّ النَّبِيَّ ص.م. حَمِدَ اللهَ وَاَثْنىٰ
عَلَيْهِ وَقاَلَ لٰكِنِّى اَناَ اُصَلِّىْ وَاَناَمُ وَاصُوْمُ
وَاُفْطِرُوَاَتَزَوَّجُ الذِّسآَءَفَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِىْ فَلَيْسَ مِنِّى.(متفق عليه)
Artinya:
“Dari Annas bin Malik RA: bahwa Nabi SAW
memuji Allah dan bersabda, “tetapi sesungguhnya aku melakukan sholat dan tidur,
aku berpuasa dan berbuka dan aku menikahi para wanita. Siapa yang tidak
menyukai sunnahku maka ia bukan termasuk umatku.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Kosakata
Hadist:
Lakinnii:
Pembetulan atas keterangan sebelumnya yang dibuang oleh penyusun Bulughul Maram dengan maksud meringkas.
Fa
man Raghiba: Berpaling dari suatu hal. Maksudnya
disini adalah siapa yang meninggalkan caraku dan mengambil cara lain bukan
termasuk umatku. Dalam hal ini Rosulullah SAW menyinggung mereka yang
menggunakan kependetaan yang dibuat-buatnya sendiri untuk memperketat cara
hidup (dengan cara tidak menikah).
Adapun
yang Rasulullah maksudkan dengan sabdanya: “Barang siapa yang tidak menyukai
sunnahku, tidak senang dengan jalanku”. Dan sedang sabdanya “FaLaisa Minni” itu maksudnya dia bukan
termasuk diantara orang-orang suci, bahkan Rasulullah yang tetap terbuka agar
beliau tetap kuat puasa lagi, beliau tidur agar kuat sholat malam dan beliau
pun menikahi beberapa orang wanita agar terpelihara pandangan dan kemaluannya.
Ada
orang yang berkata: bahwa jika beliau maksudkan orang yang menyalahi petunjuk
Rasulullah SAW dan sunnahnya itu adalah orang yang bersih, kuat ibadahnya
daripada yang pernah dilakukan Rasulullah SAW. Maka maksud Rasulullah “Laisa
Minni” itu ialah dia bukan termasuk pemeluk agamaku, karena sesungguhnya
keyakinan demikian itu akan membawa akibat kepada kufur.
Hadist
tesebut mempunyai sebab munculnya (asbabul
furud),[1]
yaitu bahwa menurut kata Annas: tiga orang mendatangi rumah istri nabi
Muhammad, menanyakan tentang ibadah Rasulullah, seakan-akan mereka semua merasa
sedikit ibadahnya, lalu mereka berkata: dimana tingkatan kita dibanding
Rasulullah? Padahal Allah mengampuni dosa-dosa yang telah lalu dan dosa-dosanya
yang akan datang. Lalu salah seorang diantara mereka berkata: adapun saya,
sungguh akan tetap sholat malam selamanya. Berkata yang satu lagi: dan saya
akan berpuasa sambung selamanya, dan tidak akan berbuka. Dan yang ketiga
berkata: saya akan menjauhkan diri dari para kaum wanita, saya tidak akan
kawin. Setelah Rasulullah datang lalu beliau berkata: kamu sekalian berkata
demikian. Adapun saya, demi Allah sesungguhnya saya adalah orang yang paling
takut kepada Allah dari kamu sekalian dan orang yang paling bertakwa kepadaNya
dibanding kamu sekalian. Akan tetapi, saya sholat, tidur, berpuasa, berbuka dan
mengawini beberapa wanita. Barang siapa yang tidak menyukai sunnahku maka ia
bukan umatku.
Hadist
tersebut sebagai dalil bahwa sesungguhny yang disyariatkan adalah sederhana
dalam semua ibadah, tanpa bergelimang (dalam ibadah saja tanpa memikirkan tugas
dan tanggung jawab lain), tanpa membahayakan diri dan meninggalkan kesenangan
duniawi semuanya. Dan sesungguhnya agama Muhammad ini, dasar pembinaan
syariatnya adalah sederhana, kemudahan, peringanan dan tidak mempersulit atau
tidak memberatkan. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan Dia tidak
menghendaki kesukaran bagi kamu sekalian.
Hal-hal
yang penting dari Hadits
1.
Syariat islam didirikan diatas konsep
toleransi atas kemampuan manusia, kemudahan, sesuai dengan keingina jiwa
terhadap hal-hal yang baik. Syariat islam tidak menyukai keketatan hidup dan
tidak menghalangi jiwa manusia untuk menyukai apa yang diperbolehkan Allah SWT.
2.
Bahwa kebaikan dan keberkahan hanya
terdapat dengan cara mengikuti Rasulullah, inilah yang dimaksud keseimbangan.
3.
Mewajibkan sesuatu yang mempersulit diri
bukan bagian dari agama Islam itu sendiri. Sebaliknya itu adalah perilaku para
pelaku bid’ah yang menentang sunnah Rasulullah.
4.
Meninggalkan sama sekali kenikmtan
duniawi yang diizinkan adalah keluar dari sunnah suci dan bukan merupakan
langkah orang-orang yang beriman.
5. Hadist
ini menerangkan bahwa agama islam bukan agama
Rahbaniyah (kependetaan). Ia adalah agama yang datang untuk memperbaiki
kehidupan dunia dan Akhirat. Ia adalah agama yang menempatkan segala sesuatunya
pada tempatnya. Ada hak Allah untuk disembah dan ada hak badan untuk menikamati
kenikamatan duniawi yang diizinkan. Begitu juga jiwa punya hak untuk
beristirahat.
6.
Sungguh agung hikmah dibalik hukum Allah
yang berusaha mengisi kebutuhan-kebutuhan naluri manusiawi dengan hal-hal yang
diperbolehkan. Ia tidak melarangnya menikmati apa yang sudah menjadi watak jiwa
manusia. Dengan memberi kelonggaran dalam hal ini malah semua masalah yang
dihadapi manusia menjadi lebih baik.
7.
As-sunnah adalah cara (thariqah) orang yang tidak menyukai
sunnahnya tidak kemudian dianggap keluar dari agama islam. Hal ini untuk mereka
yang meninggalkan sunnahnya dengan didasarkan pada taqwil dimana pelakunya
dapat dimaklumi/ dimaafkan.[2]
B.
Subulus Salam
الْبِكْرُحَتّىَ
تُسْتَأْذَنَ، قاَلُوْ: ياَرَسُوْلَ اللّٰهِ ! وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ـ رَضِيَ
اللّٰهُ عَنْهُ ـ أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهُ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: (لاَتُنْكَحُ الْأَيَّمُ حَتَّىتُسْتَأْمَرَ-وَلَاتُنْكَحُ وَكَيْفَ
إِذْنُهاَ؟ قَالَ : أَنْ تَسْكُتَ). مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Artinya: Abu
Hurairah RA meriayatkan bahwa Rosulullah SAW bersabda,. Tidaklah wanita janda
dinikahi hingga ia dimintai pendapatnya dan “tidaklah wanita perawan dinikahi
hingga ia dimintai izinnya”. Para sahabat bertanya, “wahai Rosulullah
bagaimanakah izinnya seorang wanita perawan?” belia menjawab, “ia diam tidak
menjawab.” HR. Muttafaq ‘Alaih.
Kosakata
Hadist
Al Ayyimu:
Yaitu wanita yang keperawanannya telah hilang, sekalipun dengan berzina.
Tusta’maru:
Pada asalnya bermakna meminta perintah. Dengan demikian, akad nikah (dengan
wanita janda) tidak terlaksana kecuali setelah mendapatkan perintah dan izinnya
untuk menikahinya.
Al bikru: Wanita
gadis yang keperawanannya masih utuh.
Hatta Tusta’zana:
Maksudnya dengan cara meminta izinnya (wanita perawan) dan persetujuannya untuk
menikah.
Dalam hadist tersebut
bahwa harus minta dari perempuan janda dan setelah ada perintahnya. Tidak boleh
diakad perempuan janda itu sebelum wali meminta perintahnya dengan izin untuk
mengakadnya. Maksudnya itu adalah harus persetujuannya.
Itulah makna janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya, dalam
beberapa hadist itu.
Sabdanya “al bikru” (gadis) yang beliau maksudkan
ialah perempuan gadis yang sudah baligh. Dan untuk dia diungkapkan disini
dengan “dimintai izinnya” dan diungkapkan bagi janda dengan permintaan
perintahnya itu. Itu suatu isyarat perbedaan antara keduanya. Sesungguhnya
hal-hal itu menunjukkan sangat pentingnya musyawarah dengan perempuan janda.
Dan walinya membutuhkan ucapan terus terang dengan izin dari janda dalam akad
nikahnya. Sedang izin dari gadis boleh dengan ucapan dan diamnya. Lain halnya
dengan perintah, maka harus dengan ucapan terus terang itu. Cukup dengan
diamnya bagi gadis biasanya malu berterus terang.[3]
KESIMPULAN
·
Hadist pertama menerangkan bahwa agama
Islam bukan agama rahbaniyyah (kependetaan).
Ia adalah agama yang menempatkan segala sesuatunya pada tempatnya. Ada hak
Allah untuk disembah dan ada hak manusia untuk menikmati kenikmatan-kenikmatan
duniawi yang diizinkan. Begitu juga jiwa punya hak untuk beristirahat.
·
Hadist kedua menjelaskan tentang
larangan menikahi wanita janda sebelum meminta izinnya secara jelas. Larangan
menikahi wanita perawan sebelum meminta izinnya. Bentuk izin dari seorang
wanita perawan adalah diam, arena pada umumnya ia malu mengucapkan. Yang
dimaksud gadis disini adalah gadis yang sudah baligh.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Hasan, Abdullah bin Abdul Rahman. Syarah Bulughul Maram. Anggota IKAPI DKI
Jakarta, 2006.
As-Shaa’ani, Subulus Salam III. Surabaya: Al-Ikhlas,
1955.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar