Jumat, 05 April 2013

Hadis Munakahat



KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr, Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Taufik serta HidayahNya kepada kita semua, khususnya pada kami, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini sebaik-baiknya.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan kepada pengikutnya.
Kami sadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kami  sangat berharap saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.
Wassalamu’alaikum Wr, Wb.





                                                                                Ponorogo,  Juni 2012
                                                                               
                                                                                          Penulis









PENDAHULUAN


Sebagai pribadi muslim, hendaklah bertaqwa kepada Allah SWT, serta beriman kepada Rosul Allah, yaitu Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, tidak hanya sekedar percaya dan mengakui keimanan saja. Perlu adanya terapan iman, bahwasannya umat muslim harus mengikuti sunnah-sunnah Rosul.
Dalam makalah ini, akan dibahas salah satu sunnah Rosul mengenai munakahat. Dalam hadist ini, menjelaskan apa-apa yang seharusnya dilakukan antara sesama manusia umumnya dan umat Islam kususnya dalam kehidupan sehari-hari di bidang Pernikahan. Terdapat perbedaan antara pernikahan seorang janda dan gadis. Semua itu akan dijelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya.
















MUNAKAHAT

A.    Subulus Salam
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ ماَ لِكٍ رَضِيَ اللهُ تَعاَ لىٰ عَنْهُ اَنَّ النَّبِيَّ ص.م. حَمِدَ اللهَ وَاَثْنىٰ عَلَيْهِ وَقاَلَ لٰكِنِّى اَناَ اُصَلِّىْ وَاَناَمُ وَاصُوْمُ وَاُفْطِرُوَاَتَزَوَّجُ الذِّسآَءَفَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِىْ فَلَيْسَ مِنِّى.(متفق عليه)
Artinya: “Dari Annas bin Malik RA: bahwa Nabi SAW memuji Allah dan bersabda, “tetapi sesungguhnya aku melakukan sholat dan tidur, aku berpuasa dan berbuka dan aku menikahi para wanita. Siapa yang tidak menyukai sunnahku maka ia bukan termasuk umatku.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Kosakata Hadist:
Lakinnii: Pembetulan atas keterangan sebelumnya yang dibuang oleh penyusun Bulughul Maram dengan maksud meringkas.
Fa man Raghiba: Berpaling dari suatu hal. Maksudnya disini adalah siapa yang meninggalkan caraku dan mengambil cara lain bukan termasuk umatku. Dalam hal ini Rosulullah SAW menyinggung mereka yang menggunakan kependetaan yang dibuat-buatnya sendiri untuk memperketat cara hidup (dengan cara tidak menikah).
Adapun yang Rasulullah maksudkan dengan sabdanya: “Barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, tidak senang dengan jalanku”. Dan sedang sabdanya “FaLaisa Minni” itu maksudnya dia bukan termasuk diantara orang-orang suci, bahkan Rasulullah yang tetap terbuka agar beliau tetap kuat puasa lagi, beliau tidur agar kuat sholat malam dan beliau pun menikahi beberapa orang wanita agar terpelihara pandangan dan kemaluannya.
Ada orang yang berkata: bahwa jika beliau maksudkan orang yang menyalahi petunjuk Rasulullah SAW dan sunnahnya itu adalah orang yang bersih, kuat ibadahnya daripada yang pernah dilakukan Rasulullah SAW. Maka maksud Rasulullah “Laisa Minni” itu ialah dia bukan termasuk pemeluk agamaku, karena sesungguhnya keyakinan demikian itu akan membawa akibat kepada kufur.
Hadist tesebut mempunyai sebab munculnya (asbabul furud),[1] yaitu bahwa menurut kata Annas: tiga orang mendatangi rumah istri nabi Muhammad, menanyakan tentang ibadah Rasulullah, seakan-akan mereka semua merasa sedikit ibadahnya, lalu mereka berkata: dimana tingkatan kita dibanding Rasulullah? Padahal Allah mengampuni dosa-dosa yang telah lalu dan dosa-dosanya yang akan datang. Lalu salah seorang diantara mereka berkata: adapun saya, sungguh akan tetap sholat malam selamanya. Berkata yang satu lagi: dan saya akan berpuasa sambung selamanya, dan tidak akan berbuka. Dan yang ketiga berkata: saya akan menjauhkan diri dari para kaum wanita, saya tidak akan kawin. Setelah Rasulullah datang lalu beliau berkata: kamu sekalian berkata demikian. Adapun saya, demi Allah sesungguhnya saya adalah orang yang paling takut kepada Allah dari kamu sekalian dan orang yang paling bertakwa kepadaNya dibanding kamu sekalian. Akan tetapi, saya sholat, tidur, berpuasa, berbuka dan mengawini beberapa wanita. Barang siapa yang tidak menyukai sunnahku maka ia bukan umatku.
Hadist tersebut sebagai dalil bahwa sesungguhny yang disyariatkan adalah sederhana dalam semua ibadah, tanpa bergelimang (dalam ibadah saja tanpa memikirkan tugas dan tanggung jawab lain), tanpa membahayakan diri dan meninggalkan kesenangan duniawi semuanya. Dan sesungguhnya agama Muhammad ini, dasar pembinaan syariatnya adalah sederhana, kemudahan, peringanan dan tidak mempersulit atau tidak memberatkan. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan Dia tidak menghendaki kesukaran bagi kamu sekalian.

Hal-hal yang penting dari Hadits
1.      Syariat islam didirikan diatas konsep toleransi atas kemampuan manusia, kemudahan, sesuai dengan keingina jiwa terhadap hal-hal yang baik. Syariat islam tidak menyukai keketatan hidup dan tidak menghalangi jiwa manusia untuk menyukai apa yang diperbolehkan Allah SWT.
2.      Bahwa kebaikan dan keberkahan hanya terdapat dengan cara mengikuti Rasulullah, inilah yang dimaksud keseimbangan.
3.      Mewajibkan sesuatu yang mempersulit diri bukan bagian dari agama Islam itu sendiri. Sebaliknya itu adalah perilaku para pelaku bid’ah yang menentang sunnah Rasulullah.
4.      Meninggalkan sama sekali kenikmtan duniawi yang diizinkan adalah keluar dari sunnah suci dan bukan merupakan langkah orang-orang yang beriman.
5.      Hadist ini menerangkan bahwa agama islam bukan agama  Rahbaniyah (kependetaan). Ia adalah agama yang datang untuk memperbaiki kehidupan dunia dan Akhirat. Ia adalah agama yang menempatkan segala sesuatunya pada tempatnya. Ada hak Allah untuk disembah dan ada hak badan untuk menikamati kenikamatan duniawi yang diizinkan. Begitu juga jiwa punya hak untuk beristirahat.
6.      Sungguh agung hikmah dibalik hukum Allah yang berusaha mengisi kebutuhan-kebutuhan naluri manusiawi dengan hal-hal yang diperbolehkan. Ia tidak melarangnya menikmati apa yang sudah menjadi watak jiwa manusia. Dengan memberi kelonggaran dalam hal ini malah semua masalah yang dihadapi manusia menjadi lebih baik.
7.      As-sunnah adalah cara (thariqah) orang yang tidak menyukai sunnahnya tidak kemudian dianggap keluar dari agama islam. Hal ini untuk mereka yang meninggalkan sunnahnya dengan didasarkan pada taqwil dimana pelakunya dapat dimaklumi/ dimaafkan.[2]




B. Subulus Salam
الْبِكْرُحَتّىَ تُسْتَأْذَنَ، قاَلُوْ: ياَرَسُوْلَ اللّٰهِ ! وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ـ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ ـ أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهُ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (لاَتُنْكَحُ الْأَيَّمُ حَتَّىتُسْتَأْمَرَ-وَلَاتُنْكَحُ وَكَيْفَ إِذْنُهاَ؟ قَالَ : أَنْ تَسْكُتَ). مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Artinya: Abu Hurairah RA meriayatkan bahwa Rosulullah SAW bersabda,. Tidaklah wanita janda dinikahi hingga ia dimintai pendapatnya dan “tidaklah wanita perawan dinikahi hingga ia dimintai izinnya”. Para sahabat bertanya, “wahai Rosulullah bagaimanakah izinnya seorang wanita perawan?” belia menjawab, “ia diam tidak menjawab.” HR. Muttafaq ‘Alaih.

Kosakata Hadist
Al Ayyimu: Yaitu wanita yang keperawanannya telah hilang, sekalipun dengan berzina.
Tusta’maru: Pada asalnya bermakna meminta perintah. Dengan demikian, akad nikah (dengan wanita janda) tidak terlaksana kecuali setelah mendapatkan perintah dan izinnya untuk menikahinya.
Al bikru: Wanita gadis yang keperawanannya masih utuh.
Hatta Tusta’zana: Maksudnya dengan cara meminta izinnya (wanita perawan) dan persetujuannya untuk menikah.
Dalam hadist tersebut bahwa harus minta dari perempuan janda dan setelah ada perintahnya. Tidak boleh diakad perempuan janda itu sebelum wali meminta perintahnya dengan izin untuk mengakadnya. Maksudnya itu adalah harus persetujuannya. Itulah makna janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya, dalam beberapa hadist  itu.
Sabdanya “al bikru” (gadis) yang beliau maksudkan ialah perempuan gadis yang sudah baligh. Dan untuk dia diungkapkan disini dengan “dimintai izinnya” dan diungkapkan bagi janda dengan permintaan perintahnya itu. Itu suatu isyarat perbedaan antara keduanya. Sesungguhnya hal-hal itu menunjukkan sangat pentingnya musyawarah dengan perempuan janda. Dan walinya membutuhkan ucapan terus terang dengan izin dari janda dalam akad nikahnya. Sedang izin dari gadis boleh dengan ucapan dan diamnya. Lain halnya dengan perintah, maka harus dengan ucapan terus terang itu. Cukup dengan diamnya bagi gadis biasanya malu berterus terang.[3]



























KESIMPULAN

·         Hadist pertama menerangkan bahwa agama Islam bukan agama rahbaniyyah (kependetaan). Ia adalah agama yang menempatkan segala sesuatunya pada tempatnya. Ada hak Allah untuk disembah dan ada hak manusia untuk menikmati kenikmatan-kenikmatan duniawi yang diizinkan. Begitu juga jiwa punya hak untuk beristirahat.
·         Hadist kedua menjelaskan tentang larangan menikahi wanita janda sebelum meminta izinnya secara jelas. Larangan menikahi wanita perawan sebelum meminta izinnya. Bentuk izin dari seorang wanita perawan adalah diam, arena pada umumnya ia malu mengucapkan. Yang dimaksud gadis disini adalah gadis yang sudah baligh.





















DAFTAR PUSTAKA

Al-Hasan, Abdullah bin Abdul Rahman. Syarah Bulughul Maram. Anggota IKAPI DKI Jakarta, 2006.
As-Shaa’ani, Subulus Salam III. Surabaya: Al-Ikhlas, 1955.



[1]As-Shaa’ani, Subulus Salam III (Surabaya: Al-Ikhlas, 1955), 398.
[2]Abdullah bin Abdul Rahman al-Hasan, Syarah Bulughul Maram (Anggota IKAPI DKI Jakarta, 2006), 261.
[3]As-shaa’ani, Subulus SalamIII, 431.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar