Jumat, 05 April 2013

Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah

PENDAHULUAN
Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang hidup di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup berarti dalam masa kemerdekaan.Perkembangan tersebut antara lain dapat dilihat dari kewenangan yangdimiliki oleh Peradilan Agama (PA) sebagai peradilan Islam di Indonesia.Dulunya, putusan PA murni berdasarkan fiqh para fuqaha’, eksekusinyaharus dikuatkan oleh Peradilan Umum, para hakimnya hanya berpendidikan Syari’ah tradisional dan tidak berpendidikan hukum, organisasinya tidakberpuncak ke Mahkamah Agung, dan Iain-lain.Sekarang keadaan sudah berubah. Salah satu perubahan mendasar akhir akhir ini adalah penambahan kewenangan PA dalam UU Peradilan Agama yang baru, antara lain bidang ekonomi Syari’ah. Makalah ini membahas mulai dari Kewenangan Peradilan Agama, Pengertian Ekonomi Syari’ah dan Macam-macamnya, terjadinya Sengketa Ekonomi Syari’ah, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah, sampai Contoh Kasus Tentang Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah.
 
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
A.    Kewenangan Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orang- orang yang beragama Islam. Secara yuridis formal, yurisdiksi Peradlian Agama diatur Islam. Menurut UU No. 7 Tahun 1989, Peradilan Agama hanya berwenang menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan sedekah. Akan tetapi, dengan diberlakukannya UU No.3 Tahun 2006, menandai lahirnya paradigma baru peradilan Agama.
Paradigma baru tersebut antara lain menyangkut yurisdiksinya, sebagaimana ditegaskan bahwa “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islammengenai ‘perkara tertentu’ sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Kata “perkara tertentu” merupakan hasil perubahan terhadap kata “perkara perdata tertentu” sebagaimana disebutkan dalam UU No.7 Tahun 1989. Penghapusan kata “perdata” disini dimaksudkan agar tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi kompetensi pengadilan agama.[1]
Kewenangan atau kekuasaan Peradilan Agama menyangkut dua hal, yaitu kekuasaan relatif dan absolut. Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya.[2]Dengan kata lain, kekuasaan relatif adalah kekuasaan dan wewenang yang bdiberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Misalnya anatar Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Bogor. Sedangkan kekuasaan absolut adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam. Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 UU No. 7 Th. 1989.[3]

B.       Pengertian Ekonomi Syari’ah dan Macam-macamnya
Ekonomi syariah atau disebut juga sebagai ekonomi Islam,[4] yaitu ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip Syari’ah.Yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah yang meliputi bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pergadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah.[5]
Ekonomi Syari’ah berbeda dari ekonomi konvensional yang berkembang di dunia dewasa ini yang hanya berdasarkan nilai-nilai sekular terlepas dari agama.[6]
Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) UU No.3 Tahun 2006 yang pasal dan isinya tidak diubah dalam UU No.50 Th.2009 tentang Perubahan Kedua UU No.7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama, bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang ekonomi syari’ah yang meliputi:
1.      Bank syari’ah
2.      Lembaga keuangan mikro syari’ah
3.      Asuransi syari’ah
4.      Reasuransi syari’ah
5.      Reksadana syari’ah
6.      Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
7.      Sekuritas syari’ah
8.      Pembiayaan syari’ah
9.      Pegadaian syari’ah
10.  Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, dan
11.  Bisnis syari’ah
Sehubungan dengan jenis dan macamnya mengenai ekonomi syari’ah yang disebut dalam Penjelasan Pasal 49 UU No.3 Th. 2006 huruf (i) di atas, hanya menyebutkan 11 jenis. Sebaiknya, harus dilihat terlebih dahulu mengenai rumusan awalnya yang menyebutkan, bahwa ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, kata antara lain yang menunjukkan bahwa 11 jenis yang disebutkan bukan dalam arti limitatif,tetapi hanya sebagai contoh. Di samping itu, mungkin saja ada bentuk-bentuk lain dari ekonomi syari’ah yang tidak dapat atau belum dapat disebutkan ketika merumuskan pengertian ekonomi syari’ah.
Subjek hukum pelaku ekonomi syari’ah menurut penjelasan pasal tersebut di atas antara lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan pasal ini.
Berdasarkan penjelasan Pasal 49 UU. No.3 Th. 2006 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah dan atau bank-bank konvensional yang membuka sektor usaha syari’ah maka dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syari’ah, baik dalam hal pelaksanaan akadnya maupun dalam hal penyelesaian perselisihannya.[7]

C.    Terjadinya Sengketa Ekonomi Syari’ah
Secara rinci, dapat dikemukakan mengenai bentuk-bentuk sengketa bank syari’ah yang disebabkan karena adanya pengingkaran atau pelanggaran terhadap perikatan (akad) yang telah dibuat, yaitu disebabkan karena:
1.      Kelalaian Bank untuk mengembalikan dana titipan nasabah dalam akad wadi’ah
2.      Bank mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan dalam akad mudlorobah
3.      Nasabah melakukan kegiatan usaha minuman keras dan usaha-usaha lain yang diharamkan menurut syari’at Islam yang bersumber dari dana pinjaman bank syari’ah, akad qirah dan lain-lain
4.      Pengadilan agama berwenang menghukum kepada pihak nasabah atau pihak bank yang melakukan wanprestasi yang menyebabkan kerugian riil (real lose).
Secara garis besar, sengketa ekonomi syari’ah dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni:
a.       Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah dengan nasabahnya,
b.      Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah,
c.       Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah.
Sengketa ekonomi syari’ah juga bisa dalam bentuk perkara Permohonan Pernyataan Pailit (PPP) dan juga bisa berupa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di bidang ekonomi syari’ah, di samping itu juga perkara derivatif kepailitan (perkara tidak murni sebagai perkara kepailitan).[8]


D.      Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
1.      Perdamaian(Sulhu)
Langkah pertama yang perlu diupayakan ketika hendak menyelesaikan perselisihan, ialah melalui cara damai. Untuk mencapai hakekat perdamaian, prinsip utama yang perlu dikedepankan adalah kesadaran para pihak untuk kembali kepada Allah (Al-Qur’an) dan RosulNya (Al-Sunnah) dalam menyelesaikan segala persoalan.
Upaya damai tersebut biasanya ditempuh melalui musyawarah (syuura) untuk mencapai mufakat di antara para pihak yang berselisih. Dengan musyawarah yang mengedepankan prinsip-prinsip syari’at, diharapkan apa yang menjadi persoalan para pihak dapat diselesaikan.

2.      Arbitrase Syari’ah (Tahkim)
Untuk menyelesaikan perkara/ perselisihan secara damai dalam hal keperdataan, selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para pihak, juga dapat dicapai melalui keterlibatan pihak ketiga sebagai wasit (mediator). Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak yang berperkara itu sendiri ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai.
Institusi formal yang khusus dibentuk untuk menangani perselisihan/ sengketa disebut arbitrase, yaitu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

3.      Lembaga Peradilan Syari’ah (Qadha)
Dengan disahkannya UU No. 3 Th. 2006 tentang perubahan UU No. 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah (pasal49). Dengan adanya kewenangan ini maka perkara yang timbul terkait dengan penyelesaian sengketa syari’ah selain dapat diselesaikan melalui cara damai (sulhu) dan arbitrase syari’ah (tahkim), juga dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan (qadha).[9]

E.       Contoh Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
Contoh sengketa Bank Syari’ah misalnya adalah antara Pertamina dengan bank syari’ah. Pertamina mengajukan pembiayaan dalam akad murabahah (jual beli) kepada dua bank syari’ah untuk membiayai pengadaan 100 unit kendaraan. Kedua bank Syari’ah tersebut sepakat menyalurkan pembiayaan untuk 50 unit kendaraan. Suatu kali, pertamina terlambat membayar, namun secara sepihak salah satu bank syari’ah tiba-tiba menaikkan harga jual barang, sedangkan menurut fatwa DSN No.4/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang Murabahah, pihak bank Syari’ah tersebut tidak boleh menaikkan harga barang selama masa pembiayaan sesuai kesepakatan. Sengketa ini tidak kunjung selesai karena pihak bank Syari’ah tidak bersedia membawa kasus ini ke Basyarnas, sedangkan sengketa bank Syari’ah baru bisa dibawa ke Basyarnas kalau kedua belah pihak menyetujui. Pihak bank Syari’ah memilih untuk diselesaikan melalui peradilan umum karena bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp 250.000.000,00. Sementara, kuasa hukum Pertamina melaporkan kasus ini ke BI, bank Syari’ah yang bersangkutan, DSN-MUI dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS), namun hasilnya tetap nihil, yang tepat dalam kasus ini adalah harus diselesaikan melalui lembaga peradilan agama.[10]


KESIMPULAN

·         Menurut UU No. 7 Tahun 1989, Peradilan Agama hanya berwenang menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan sedekah. Akan tetapi, dengan diberlakukannya UU No.3 Tahun 2006, menandai lahirnya paradigma baru peradilan Agama.
·         Yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah yang meliputi bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pergadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah.
·         Secara garis besar, sengketa ekonomi syari’ah dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni:
a.       Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah dengan nasabahnya,
b.      Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah,
c.       Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah.
·         Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah:
1.      Perdamaian(Sulhu)
2.      Arbitrase Syari’ah (Tahkim)
3.      Lembaga Peradilan Syari’ah (Qadha)


[1]Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008), 343.
[2]Roihan A Rosyd, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), 25-27.
[3]Abdullah Tri Whyudi, Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 87.
[7]Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 18-19.
[8]Ibid, 41-43.
[9]Burhanuddin, Hukum Bisnis Syari’ah (Yogyakarta: UII Press, 2011), 243-264.
[10]Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Indonesia, 42.

Pengetahuan Menurut Karl Popper


PENDAHULUAN

Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat. Sebaliknya, perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat.
Kelahiran filsafat menunjukkan pola pemikiran dari pandangan mitologi akhirnya lenyap dan pada gilirannya rasiolah yang dominan. Dengan filsafat, pola pikir yang selalu tergantung pada dewa diubah menjadi pola pikir yang tergantung pada rasio.
Salah satu filsuf yang akan dibahas pengetahuannya lebih lanjut pada makalah ini yaitu Karl Popper. Ia banyak menulis tentang filsafat politik maupun filsafat ilmu. Teorinya tentang falsifikasi, yang walaupun ditujukan dalam bidang analisis filsafat ilmu, memiliki implikasi yang sangat luas.
Untuk selanjutnya, dalam makalah ini akan dibahas mulai dari pendekatan tentang Karl Popper, karya tulis Karl Popper dan pengetahuan menurut Karl Popper.








PENGETAHUAN MENURUT KARL POPPER

A.    Pendekatan Umum Tentang Karl Popper
Karl Popper,dikenal karena teorinya tentang falsifiabilitas. Pandangannya mencerminkan metodologi yang eksplisit.[1]Karl Popper (1902-1994) adalah seorang filsuf dari Wina yang sempat mengajar di New Zealand, dan kemudian di London pada 1945, dimana ia menjadi profesor dalam bidang logika dan metode santifik di London School of Economics. Ia banyak menulis tentang filsafat politik maupun filsafat ilmu. Teorinya tentang falsifikasi, yang walaupun ditujukan dalam bidang analisis filsafat ilmu, memiliki implikasi yang sangat luas. Pada dekade 1920-an para pemikir positivisme logis, berpendapat bahwa suatu pernyataan hanya bermakna, jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi dengan data inderawi. Dengan kata lain, jika suatu pernyataan tidak dapat dibuktikan secara inderawi, pernyataan itu tidaklah bermakna. Akan tetapi, mereka juga memberikan pengecualian bagi pernyataan matematis ataupun pernyataan logika, dimana makna dari suatu pernyataan sudah terkandung di dalam definisi dari pernyataan yang digunakan.[2]
Karl Popper-lah orang yang pertama kali meruntuhkan dominasi positivisme logis dengan teori falsifikasinya itu, sekaligus mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu pengetahuan. Prinsip falsibilitas berarti bahwa ciri utama pengetahuan ilmiah adalah dapat dibuktikan salah. Jadi, hipotesis dan teori, hanya diterima sebagai bentuk kebenaran sementara, sejauh belum ditemukan kesalahannya.[3]
Karl Raimund Popper melihat kelemahan dalam prinsip verifikasi berupa sifat pembenaran (justification) terhadap teori yang telah ada. Ia mengajukan prinsip falsifikasi yang dapat diurai sebagai berikut.
Pertama, Popper menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan dapat dibuktikan kebenarannya melalui prinsip verifikasi, sebagaimana yang dianut oleh kaum positivistik. Teori- teori ilmiah selalu bersifat hipotesis (dugaan sementara), tak ada kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori yang lebih tepat.
Kedua, cara kerja metode induksi yang secara sistematis dimulai dari pengamatan (observasi) secara teliti gejala yang sedang diselidiki. Pengamatan yang berulang- ulang itu akan memperlihatkan adanya ciri- ciri umum yang dirumuskan menjadi hipotesa. Selanjutnya hipotesa itu dikukuhkan dengan cara menemukan bukti- bukti empiris yang dapat mendukungnya. Hipotesa yang berhasil dibenarkan (justifikasi) akan berubah menjadi hukum. Popper menolak cara kerja di atas, terutama pada asas verifiabilitas, bahwa sebuah pernyataan itu dapat dibenarkan berdasarkan bukti- bukti pengamatan empiris.
Ketiga, Popper menawarkan pemecahan baru dengan mengajukan prinsip falsifiabilitas, yaitu bahwa sebuah pernyataan dapat dibuktikan kesalahannya. Maksudnya, sebuah hipotesa, hukum, ataukah teori kebenarannya hanya bersifat sementara, sejauh belum ditemukan kesalahan- kesalahan yang ada di dalamnya. Bagi Popper, ilmu pengetahuan dapat berkembang maju manakala suatu hipotesa telah dibuktikan salah, sehingga dapat digantikan dengan hipotesa baru. Namun ada kemungkinan lain, yaitu hanya salah satu unsur hipotesa yang dibuktikan salah satu untuk digantikan dengan unsur baru yang lain, sehingga hipotesa telah disempurnakan. Menurut Popper, apabila suatu hipotesa dapat bertahan melawan segala usaha penyangkalan, maka hipotesa tersebut semakin diperkokoh (corroboration).[4]

B.     Antologi Karl Popper
Salah satu pokok filsafat Popper adalah bahwa yang kita sebut pengetahuan ilmiah sebenarnya hanyalah pendapat atau kesimpulan yang didasarkan atas informasi yang tidak lengkap, dan pada prinsipnya selalu dapat digantikan dengan sesuatu yang mungkin lebih mendekati kebenaran. Menurut Popper, gagasan itu dikemukakan pertama kali oleh Xenophanes.[5]
Pada tingkat ilmiah, penggunaan sementara atas sebuah perkiraan atau teori baru mungkin menyelesaikan satu atau dua masalah. Namun, ia pasti juga membuka berbagai permasalahan baru, sebab teori baru dan revolusioner tetap berfungsi seperti sebuah organ pengindra yang baru dan kuat. Jika kemajuan yang diperoleh cukup signifikan, maka masalah- masalah baru akan berbeda dengan masalah- masalah lama. Masalah baru akan berada pada tingkat kedalaman yang sangat berbeda. Ini, menurut Karl Popper, merupakan cara yang dengannya ilmu memperoleh kemajuan. Dan kemajuan kita bisa dinilai paling baik dengan membandingkan masalah- masalah lama dengan yang baru. Jika kemajuan yang diperoleh cukup besar, maka masalah- masalah baru akan memiliki karakter yang belum pernah dibayangkan. Akan ada masalah- masalah yang lebih dalam dan akan semakin banyak.
Tradisi kritis didasarkan pada penggunaan metode dalam mengkritik sebuah kisah atau penjelasan yang diterima, dan melangkah menuju kisah baru, lebih sempurna, dan imajinatif, yang selanjutnya juga akan dikritik. Metode ini, menurut Karl Popper adalah metode ilmu.
Jika metode diskusi kritis rasional terbentuk dengan sendirinya, ini akan menyebabkan peggunaan kekerasan menjadi usang. Karena penalaran kritis adalah satu- satunya alternatif bagi kekerasan yang bisa ditemukan sejauh ini.
Dalam keduanya (sejarah dan ilmu alam), berangkat dari mitos- mitos, dari prasangka- prasangka tradisional, yang penuh dengan kesalahan dan dari sini berlanjut menuju kritisisme, melalui eliminasi kritis, atas kesalahan. Dalam keduanya, peran bukti, terutama adalah untuk membetulkan kesalahan- kesalahan, prasangka- prasangka, dan teori- teori sementara itu, yakni untuk memainkan peran dalam diskusi kritis, dalam eliminasi kesalahan. Dengan membetulan kesalahan- kesalahan yang ada, kemudian memunculkan masalah- masalah baru. Dan untuk memecahkan masalah- masalah itu, diciptakan perkiraan, yakni teori- teori sementara yang dihadapkan pada diskusi kritis, diarahkan menuju eliminasi kesalahan.
Selanjutnya bisa dikatakan bahwa rasionalisme adalah sikap yang bersedia mendengarkan argumen- argumen yang berlawanan dan belajar dari pengalaman. Rasionalisme pada dasarnya adalah sikap seorang rasionalis, dengan keyakinan bahwa dalam usaha mencari kebenaran, perlu ada kerja sama, dan bahwa dengan bantuan argumen, pada saatnya nanti bisa dicapai sesuatu seperti objektivitas.[6]

C.    Pengetahuan Menurut Karl Popper
Popper mengemukakan bahwa sistem ilmu pengetahuan manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga dunia (world), yaitu dunia 1, dunia 2, dan dunia 3. Popper menyatakan bahwa dunia 1 merupakan kenyataan fisis dunia, sedang dunia 2 adalah kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia, dan dunia 3 yaitu segala hipotesis, hukum, dan teori ciptaan manusia dan hasil kerja sama antara dunia 1 dan dunia 2, serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisik, agama, dan sebagainya. Menurut Popper dunia 3 itu hanya ada selama dihayati, yaitu dalam karya dan penelitian ilmiah, dalam studi yang sedang berlangsung, membaca buku, dalam ilham yang sedang mengalir dalam diri para seniman, dan penggemar seni yang mengandalkan adanya suatu kerangka. Sesudah penghayatan itu, semuanya langsung ‘mengendap’ dalam bentuk fisik alat- alat ilmiah, buku-buku, karya seni, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan bagian dari dunia 1. Dalam pergaulan manusia dengan sisa dunia 3 dalam dunia 1 itu, maka dunia 2 lah yang membuat manusia bisa membangkitkan kembali dan mengembangkan dunia 3 tersebut.
Menurut Popper dunia 3 itu mempunyai kedudukannya sendiri. Dunia 3 berdaulat, artinya tidak semata-mata begitu saja terikat pada dunia 1, tetapi sekaligus tidak terikat juga pada subjek tertentu. Maksudnya, dunia 3 tidak terikat pada dunia 2, yaitu pada orang tertentu, pada suatu lingkungan masyarakat maupun pada periode sejarah tertentu. Dunia 3 inilah yang merupakan dunia ilmiah yang harus mendapat perhatian para ilmuwan dan filsuf.
Kalau diskematisasikan, maka hubungan antara ketiga dunia tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:[7]


Kenyataan PsikisDalamDiri Manusia
Kenyataan Fisis Dunia
Dunia 1                                                                     Dunia 2


Penelitian Ilmiah
Studi Ilmiah
Karya Ilmiah
Hipotesa Hukum,  Teori (Ciptaan Manusia)
Dunia 3





                                        KESIMPULAN                                       
Maksudnya:
1.      Empiris (fakta): Kenyataan fisik dunia.
2.      Psicies (berfikir): Kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia.
3.      Hipotesa: Kesimpulan/ jawaban sementara.


Jadi, dari fakta lalu berfikir lalu memunculkan jawaban sementara.
Contoh:
HP hilang, lalu kita berfikir mungkin tertinggal, atau mungkin jatuh. Lalu setelah dari fikiran itu muncullah kesimpulan atau jawaban sementara.
D.   Perbedaan Metode Verifikasi Dengan Metode Falsifikasi
Verifikasi dibuktikan kebenarannya melalui panca indera. Contoh: jika teori empirismenya mengatakan kalau besi itu dipanaskan pasti akan meleleh. Lalu teori ini memverifikasi dengan meletakkan besi pada tangannya untuk menguji apakah benar panas atau tidak.
Falsifikasi berawal dari esalahan atau mencari kesalahannya dulu. Contoh: Jika ada pernyataan “semua angsa itu berbulu putih”, melalui prinsip falsifiabilitas itu cukup ditemukan seekor angsa yang berbulu selain putih (entah hitam, kuning, hujau, dan lain- lain), maka runtuhlah pernyataan semula.
Popper tidak puas atas tuntutan empirisme yang hanya melalui verifikasi tanpa falsifikasi. Sebab hukum itu adalah hipotesis atau merupakan dugaan saja yang perlu pengujian dengan metode trial and error. Semakin sering sebuah hipotesis diuji dan benar, semakin besar pula kebenarannya. Dengan falsifikasi seorang teorisi selalu akan memilih teori yang akan ditolak, dengan pengertian bahwa ia akan menerima unsur-unsur teori lama itu yang ternyata dapat bertahan melalui pengujian dan sekaligus menjelaskan dimana teori lama itu gagal dan sekaligus dimana teori itu berhasil. Teori baru itu akan tetap dipegang selama ternyata dapat bertahan terhadap pengujian dan akan digugurkan apabila tidak cocok.







KESIMPULAN

Salah satu pokok filsafat Popper adalah bahwa yang kita sebut pengetahuan ilmiah sebenarnya hanyalah pendapat atau kesimpulan yang didasarkan atas informasi yang tidak lengkap, dan pada prinsipnya selalu dapat digantikan dengan sesuatu yang mungkin lebih mendekati kebenaran.
Karl Popper orang yang pertama kali meruntuhkan dominasi positivisme logis dengan teori falsifikasinya, sekaligus mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu pengetahuan. Prinsip falsibilitas berarti bahwa ciri utama pengetahuan ilmiah adalah dapat dibuktikan salah. Jadi, hipotesis dan teori, hanya diterima sebagai bentuk kebenaran sementara, sejauh belum ditemukan kesalahannya.
Menurut Popper, apabila suatu hipotesa dapat bertahan melawan segala usaha penyangkalan, maka hipotesa tersebut semakin diperkokoh (corroboration).